Pelajaran dari Konflik Abu Bakr dan Misthah, Radhiallahu ‘anhuma

Ilustrasi. f/pixabay

Teladan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan tentang masalah ini terus-menerus dalam hidupnya. Lihatlah dalam berbagai insiden sirah. Ketika A’isyah diminta untuk menjelaskan tentang Rasulullah ﷺ, ia berkata dalam sebuah hadits yang panjang. Haditsnya yang pendek tentu sudah banyak kita ketahui bahwa A’isyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an. Namun ada sebuah hadits lagi yang lebih panjang yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab beliau Syama’il Muhammadiyah. A’isyah berkata,
… لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاحِشًا، وَلا مُتَفَحِّشًا وَلا صَخَّابًا فِي الأَسْوَاقِ، وَلا يَجْزِئُ بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ‏.‏
Tidaklah Rasulullah ﷺ berbuat keji, dan tidak pula berkata jorok; tidak pula ia berteriak-teriak di pasar; beliau tidak membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk juga, namun beliau memaafkan dan melupakannya sama sekali. (Syama’ilul Muhammadiyah No.330)

Begitulah A’isyah menggambarkan akhlak Rasulullah ﷺ. Dan kita semua telah mendengar kisah-kisah yang menarik hati dari Sirah Nabawiyah, dari biografi Nabi ﷺ. Kisah-kisah tentang begitu pemaafnya Rasulullah ﷺ terlalu banyak untuk kita bahas dalam pertemuan kali ini. Puncaknya tentu ketika Penaklukan Makkah terjadi. Pada saat Kaum Muslimin menaklukkan Makkah dari tangan kafir Quraysy yang notabene saudara-saudara jauh maupun dekat Rasulullah ﷺ sendiri, Rasulullah ﷺ memaafkan mereka meskipun mereka adalah orang-orang yang menyiksa dan memerangi Rasulullah ﷺ selama 20 tahun. Bahkan Abu Sufyan, pimpinan Quraysy yang saat itu belum Muslim, dia terkaget-kaget dan terkagum-kagum, bagaimana mungkin Rasulullah ﷺ begitu mudah memaafkan padahal di zaman tersebut, tradisi Bangsa Arab begitu mudah melakukan pembalasan dendam kepada orang-orang yang pernah menyakiti mereka.

Allah telah memerintahkan Rasulullah ﷺ dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 199.
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ.
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf, 7: 199)
Ini adalah perintah Allah khusus kepada Rasulullah ﷺ, bahwa Beliau wajib untuk menjadi pemaaf. Bagi kita, memaafkan memang adalah pilihan. Kita diizinkan untuk membalas keburukan dalam batasan yang diatur dalam agama. Namun, memaafkan itu jauh lebih baik. Allah juga memerintahkan kepada Nabi ﷺ untuk memalingkan diri dari orang-orang jahil. Dan kita pun dianjurkan untuk tidak mengikuti perilaku orang-orang jahil yang mengganggu kita. Lebih utama untuk tidak membalas perbuatan jahil mereka dengan perbuatan jahil serupa.

Bahkan terhadap pembunuh. Membunuh adalah dosa terbesar setelah syirik. Allah berkata,
… كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ …
… Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh … (QS. Al-Baqarah, 2: 178)
Hukuman bagi pembunuh adalah dibunuh. Itulah qishash dalam ayat ini. Allah telah mengizinkan qishash. Namun apa lanjutan ayat tersebut.
… فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ …
… Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan kebaikan, … (QS. Al-Baqarah, 2: 178)
Bahkan bagi pembunuh, Allah tetap menganjurkan seorang Muslim untuk memaafkannya. Dalam ayat ini, Allah masih menyebut seorang Muslim yang membunuh sebagai akhihi dalam ayat ini, artinya status Islam masih melekat pada dirinya. Demikian itulah hubungan ukhuwatul Islam, persaudaraan Islam. Jika kita mampu memaafkan, maka maafkanlah.

Memaafkan Keluarga Dekat
Satu lagi hal yang sulit untuk kita lakukan, yaitu memaafkan kesalahan keluarga dekat kita; memaafkan kesalahan orang-orang yang kita cintai. Mungkin lebih mudah bagi kita untuk memaafkan orang lain. Namun ketika istri kita, atau anak kita, atau bahkan orang tua kita, orang-orang yang begitu kita cintai, melukai hati kita, mengucapkan kata kasar, tidak menghargai, atau tidak sopan kepada kita, akan lebih sulit untuk kita maafkan dan lupakan.

Khusus masalah ini, Allah secara lugas memerintahkan kita lewat Al-Qur’an.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّۭا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ.
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun, 64: 14)

Ibnu ‘Abbas menjelaskan maksud musuh di sini. Jika kecintaan kita kepada istri dan anak-anak kita menjadi sebab kita melanggar perintah Allah, saat itulah mereka menjadi musuh. Terkadang mereka meminta sesuatu dan kita berusaha untuk menyenangkan mereka. Terkadang mereka juga melakukan kesalahan-kesalahan. Maka terhadap kesalahan-kesalahan mereka yang menyangkut diri kita, Allah perintahkan kepada kita untuk تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ tiga kata kerja yang semuanya bermakna memaafkan atau mengampuni. Tidak pernah tiga kata ini berderet-deret dalam Al-Qur’an selain dari ayat ini, yang ditujukan kepada keluarga.

Benar bahwa dalam sejumlah kecil kesempatan dalam sirah atau kehidupan Nabi ﷺ, Beliau ﷺ tidak memaafkan. Misal Abu Lahab, Abu Jahl, atau Umayyah bin Khalaf. Kita bisa menghitung mereka dengan jari. Namun subhanallah, apa kita ingin membandingkan keluarga kita atau saudara seiman kita dengan Abu Jahl? Dan pahami juga; semua pengecualian dalam sirah Nabi, orang-orang yang tidak mendapatkan maaf dari Nabi ﷺ adalah mereka yang secara terus-menerus bertindak kurang ajar dan arogan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Tidak sekalipun dalam sirah, ketika ada seorang yang meminta maaf langsung kepada Nabi ﷺ, kecuali Beliau ﷺ memaafkan mereka, termasuk Ikrimah bin Abu Jahl, anak laki-laki Abu Jahl. Padahal namanya terdaftar sebagai salah seorang yang diperintahkan untuk ditangkap hidup atau mati dalam Penaklukan Makkah. Ikrimah ini telah berbuat begitu banyak dalam Pertempuran Badr, Pertempuran Uhud, bahkan dalam Penaklukan Makkah. Namun setelah sempat melarikan diri ke Jeddah, ia bertaubat dan pulang menghadap untuk meminta maaf kepada Rasulullah ﷺ.

Laman: 1 2 3 4 5

Tags: ,