Pelajaran dari Konflik Abu Bakr dan Misthah, Radhiallahu ‘anhuma

Ilustrasi. f/pixabay

Ketika mendengar ayat ini, beliau berkata, “Aku bersumpah demi Allah, aku akan terus memberikannya uang selama aku hidup.”

Subhanallah. Orang yang paling berhak untuk marah dalam insiden tadi, tentulah dia . Orang yang paling masuk akal untuk bersumpah pada Allah bahwa dia tidak akan memaafkan, tentulah dia . A'isyah adalah anak perempuannya. Bukan hanya anak perempuan biasa, dia adalah ibunya kaum mu'minin, istri Nabi ﷺ.

Ucapan Misthah bukan hanya komentar terhadap rumor; bukan hanya merendahkan; melainkan sebuah kebohongan, fitnah yang keji terhadap A'isyah yang tidak bersalah. Bukan hanya itu saja, Misthah adalah keluarganya sendiri. Bahkan membantu keuangan keluarganya. Jika ada orang yang paling berhak untuk marah dalam sejarah manusia, tentulah . Jika ada orang yang paling berhak untuk membalas, tentu itu .

Namun, apa yang Allah katakan? “Ya Abu Bakr, engkau adalah ulul fadhl. Engkau lebih baik darinya.” Allah memanggil Abu Bakr dalam Al-Qur'an sebagai ulul fadhli was sa'ah. Ulul fadhli bermakna “orang yang lebih baik”. Allah bersaksi bahwa Abu Bakr adalah orang yang lebih baik, mengapa ia tidak memaafkan? Allah telah memberikannya fadhl dan sa'ah, kebaikan dan harta yang lebih. Abu Bakr dilarang bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak melupakan. Allah memberinya peringatan, apakah ia tidak ingin agar Allah mengampuninya.

أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ.

I'tibar dari Kisah Abu Bakr dan Mishtah
Sudah menjadi keniscayaan bahwa kita akan memiliki masalah dengan orang lain. Demi Allah, inilah yang dinamakan bermasyarakat. Kita akan berselisih. Orang-orang akan berkata kasar, kemudian kita akan marah. Orang akan mengambil hak kita, atau mungkin kita yang mengambil hak mereka. Orang akan menyakiti kita dan kita membalas menyakiti mereka.

Apa yang diajarkan oleh agama kita? Apa filosofi Islam dalam masalah ini? Allah memerintahkan dan Rasulullah ﷺ mencontohkan kepada kita apa yang Islam ajarkan, yaitu at-tasamuh ‘toleransi', al-‘afwu wal-ghufran ‘memaafkan' ‘melupakan kesalahan'. Allah ﷻ memerintahkan kepada kita dalam begitu banyak ayat untuk memaafkan. Allah mengaitkan pemberian maaf dengan memasuki surga, dengan penghuni surga.

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍۢ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ. ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ.

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (QS. Ali Imran, 3: 133-134)

Laman: 1 2 3 4 5

Tags: ,