ADAB BERTEMAN DAN BERUKHUWWAH (Bagian 3)

Ilustrasi silaturahmi. foto/Istockphoto

Daging para ulama itu beracun

Salah satu ulama termasyhur dalam era klasik, Ibnu Asakir, pernah mengingatkan orang-orang agar berhati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatan. Jangan sampai menghina, menjelek-jelekkan, atau menyakiti hati dan perasaan ulama. Sebab, kedudukan ulama berbeda daripada orang biasa, termasuk sekalipun penguasa. Sehingga beliau berkata: “Saudaraku, ketahuilah bahwa daging para ulama itu beracun,”

Beliau melanjutkan: “Dan kita telah mengetahui sikap Allah terhadap orang-orang yang mencela para ulama. Maka, siapa saja yang menghina para ulama dengan lidahnya, Allah akan menimpakan kematian hati kepadanya selagi dia di dunia.”

Artinya “daging ulama beracun” adalah, siapa pun yang telah memfitnah mereka, atau membicarakan secara negatif, pasti akan terkena nasib buruk. Bagaikan tubuh terkena racun. Alquran surah al-Hujurat ayat 12, mengibaratkan perbuatan menggunjing atau mencari-cari keburukan orang lain sebagai “memakan” daging saudara sendiri yang telah mati. Tentunya, memakan daging beracun akan lebih parah lagi akibatnya.

Maka menjelek-jelekkan ulama di depan umum tentunya merupakan perbuatan yang sangat tercela. Tidak hanya diibaratkan sebagai orang yang menjijikkan (memakan bangkai), tetapi juga kelak menerima sakit akibat perbuatannya itu.

Sikap kepada teman sejawat, sebaya dan sepantaran

Teman dan sahabat yang sebaya, seusia atau mendkatinya, atau rekan sesama kerja di sebuah kantor atau perusahaan adalah rekan dan patner kita dalam mentaati Allah Swt. Bila kita Bersama-sama dan saling membantu dalam kebaikan dan amal shaleh, maka amal shaleh itu akan menjadi ringan dan kebaikan menjadi semakin menyebar. Kalau kita sendirian saja mentaati Allah, maka ketaatan itu menjadi berat dan kadang syetan lebih mudah mengalahkan kita. Rasulullah Saw bersabda:

عَليْكُم بالجَمَاعَة، وَإيَّاكُم والفِرقَة، فَإنَّ الشّيطَان مَعَ الواحِد، وَهُوَ مِنَ الاثْنَينِ أبْعَد. مَن أَراد بُحْبوحَة الجَنَّة فَلْيُلزِم الجماعَةَ. مَن سَرَّتْهُ حَسَنَتُه، وسَاءَتْه سَيّئَتُه، فَذَلك المُؤْمِن” صحيح سنن الترمذي.

Artinya: “Hendaklah kalian berjamaah dan janganlah berpecah belah, karena syetan bersama orang yang sendirian. Jika sudah berdua, syetan lebih jauh lagi. Siapa yang ingin masuk ke tengah surga, maka hendaklah berjamaah. Siapa yang kebaikannya membuat dia senang dan keburukannya membuat dia tidak suka, maka dia seorang yang mukmin.” (HR At-Tirmidzi).

Kepada teman sejawat ini, sikap orang beriman adalah mudah dekat dan akrab, membantunya dalam kesulitan, memberi nasehat untuk kebaikan, saling memberikan manfaat satu sama lain. Sebagaimana dalam hadits Nabi:

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ ، وَلَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُم لِلنَّاسِ. (رواه الطبراني ودار القطني).

Artinya: Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, ”Orang beriman itu bersikap ramah dan mudah diakrabi, dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Thabrani dan Daruquthni).

Dengan teman sejawat dibolehkan bercanda dan bersenda-gurau agar hati menjadi dekat, suasana menjadi cair, tidak tegang dan mudah akrab. Akan tetapi canda tersebut haruslah positif, tidak maksiat dan tidak melecehkan teman atau rekan tersebut. canda juga tidak menciderai apalagi sampai menganiaya saudara sendiri, seperti sebagian orang sekarang ini yang mencandai temannya tapi menyakitinya. Bahkan ada yang berujung kepada kematian.

Rasulullah Saw juga kerap bercanda dan tertawa. Sebagai manusia biasa, kadang kala Beliau Saw bercanda dan tertawa, baik kepada para sahabat bahkan dengan istri-istri Beliau Saw. Beliau sering mengajak istri, dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati, dan membuat mereka gembira.

Namun canda Beliau Saw sangat terkontrol oleh akhlak beliau yang sangat luhur. Canda tawa beliau tidak berlebih-lebihan, tetap ada batasannya. Bila tertawa, Beliau Saw tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, Beliau tidak berkata kecuali yang benar. Rasulullah Saw lebih sering tersenyum dalam bercanda dari pada tertawa terbahak-bahak.

Tapi, Rasulullah Saw tidak pernah tertawa kelewatan hingga mengurangi kharisma, kewibawaan, dan kesantunan pekertinya. Dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw sosok yang tidak tertawa terbahak-bahak. Tawa Beliau hanya sebatas senyum, dan sangat murah senyum.

Dituturkan ‘Aisyah ra : “Aku belum pernah melihat Rasulullah Saw tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum. (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah Saw menjawab:

نَعَمْ ! غَيْرَ أَنِّي لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.

Artinya: “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.” (HR. Ahmad)

Kepada yang lebih kecil, murid, bawahan dan yunior

Berteman dan bersaudara dengan orang yang usia yang lebih kecil juga ada dalam ajaran dalam Islam. Rasulullah Saw bahkan berkenan melayani beberapa permintaan anak-anak yang sedang bermain. Padahal dia seorang Rasul yang mulia dan pemimpin tertinggi di Madinah waktu itu. Tapi, sikap utama Beliau adalah menyayangi siapa saja yang lebih muda dan membimbingnya. Wajar kemudian Beliau mengatakan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. At-Tirmidzi).

Rasulullah Saw sangat rendah hati (tawadhuk) kepada anak-anak. Sehingga Beliau berkenan merespon mereka bagaikan orang yang seusia. Rasulullah mengucapkan salam terlebih dulu saat beliau lewat di hadapan anak-anak. Rasulullah bermain, berbagi makanan, mencium dan menggendong anak-anak. Rasul tidak membiarkan anak-anak sendiri. Nabi Saw biasa mengajak anak-anak hadir dalam majelis, undangan atau perayaan yang dibolehkan syariat.

Rasulullah Saw juga membolehkan anak-anak menginap di rumah karib kerabat mereka yang shaleh. Imam Bukhari meriwayatkan, Ibnu Abbas pernah menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Harits yang merupakan istri Rasulullah. Dalam suatu kisah dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Saw sedang bersama sekelompok orang dewasa dan ada juga Ibnu Umar yang kala itu masih anak-anak. Rasulullah mengajak mereka, termasuk Ibnu Umar bermain bersama.

Hari ini banyak kita temukan tindakan dan sikap semena-mena seorang atasan kepada bawahannya. Seolah-olah bawahan itu hanyalah budak yang boleh dibentak-bentak dan diperintah seenaknya saja. Padahal mereka manusia merdeka yang punya hak dan kewajiban yang sudah ditentukan dan juga punya harga diri. Anas bin Malik pernah menjadi pelayan Rasulullah Saw selama 10 tahun. Kala itu Ummu Sulaim (sang ibunda) segera bergegas mendatangi Rasulullah Saw. bersama Anas: ” Wahai Rasulullah saw. sungguh orang-orang anshar dan perempuan-prempuan anshar telah memberimu hadiah kecuali aku, dan aku tidak menemukan sesuatupun untuk dapat aku hadiahkan kepadamu kecuali hanya anak laki-lakiku (ini). Maka dia terimalah dariku. Dan dia akan melayani keperluanmu.”

Sejak saat itulah Anas resmi menjadi pelayan Rasulullah Saw. Hingga Beliau wafat ketika Anas masih berumur 20 tahun. Dan selama melayani Rasulullah Saw. Anas mengaku tidak pernah dipukul, dimaki bahkan bermuka masampun tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. Anas berkomentar:

لقَدْ خَدِمْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِيْنَ، فَمَا قَالَ لِيْ قَطّ: أُفِّ، وَلَا قَالَ لِشَيْءٍ فَعَلْتُه: لِمَ فَعَلْتَهُ؟ وَلَا لِشَيْءٍ لَمْ أَفْعَلْهُ: أَلَا فَعَلْتَ كَذا؟ (متفق عليه).

Artinya: “Sungguh aku telah melayani Rasulullah Saw selama 10 tahun. tidak pernah Beliau berkata “uf” sekalipun. Dan tidak pernah Beliau komentari sesuatu yang aku kerjakan: “Kenapa engkau kerjakan itu?” dan tidak pernah mengomentari sesuatu yang tidak aku kerjakan, “Tidakkah sebaiknya engkau kerjakan begini?” (HR Bukhari dan Muslim).

Begitulah seharusnya seorang mukmin kepada rekan dan teman yang jauh lebih kecil. Memberikan kasih sayang, bimbingan dan bersikap rendah hati kepadanya. Wallahu A’laa wa A’lam.***

Laman: 1 2 3 4 5 6

Tags: , ,