Melihat lingkungan sekitar rumahnya, Sularsih bukan satu-satunya suku laut yang membangun rumah di situ. Ada sejumlah suku laut lainnya yang bermukim. Sejak menetap, generasi baru suku laut mulai menampilkan wajah yang berbeda, misalnya dari warna kulit anak-anak mereka, terlahir dengan warna kulit yang tidak begitu gelap.
” Karena tidak hidup di laut lagi, anak kami ada yang tak berkulit gelap,” ungkap dia.
Anak-anak suku laut mulai berinteraksi dan tidak menutup diri. Saat ada pendatang, mereka tak sungkan untuk mendekat, tersenyum dan menyapa. Pada waktu sore anak-anak dan remaja suku laut senang menghabiskan waktu bermain bola di halaman pemukiman pesisir tersebut.
Meskipun sudah tinggal dipesisir, masyarakat suku laut di sini tetap bekerja sebagai nelayan. Di samping itu mereka juga mengerjakan produksi kayu bakar. Sulasih mengaku, terkadang masih sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena kebutuhan yang bertambah.
” Kadang kalau tak ada tangkapan ikan pernah gak makan, kami bisa kesulitan membeli makanan jika tidak melaut, apalagi sekarang anak-anak kami bersekolah, kurang biaya,” ujar dia.
Di tengah kesulitan itu, Sulasih tak menepis ada yang datang memberikan bantuan langsung. Bila punya uang, untuk mendapatkan pangan, masyarakat suku laut ini bisa berbelanja ke pasar terdekat.
Bersyukurnya mereka untuk kebutuhan terpenting lainnya seperti listrik, di perkampungan kecil ini sudah terpenuhi. Sementara untuk air bersih, mereka mengandalkan satu sumur dengan ketersediaan mata air yang menipis.
” Iya memang mata airnya kecil, semua warga mengambil air di sini untuk minum dan masak,” ujar salah seorang warga suku laut.
Sularsih berharap, dia dan suku laut lainnya dapat hidup lebih layak. Merekapun masih membutuhkan perhatian dan bantuan dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam.***
Sumber: seniberjalan