Bergerak dan Terus Bergerak

Oleh: KH. Hilmi Aminuddin

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“…dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Q.S. Al-Anbiya: 33)

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…

Kehidupan senantiasa berbasiskan gerak, dan itu adalah sunnatullah. Al-hayaatu mabniyyatun ‘alal harakah, kehidupan didasari oleh adanya gerak.

Ketiadaan gerak seringkali diindikasikan sebagai tidak adanya kehidupan. Sunnatullah gerak dalam kehidupan ini adalah sunnatullah kauniyah, yakni mencakup seluruh semesta alam dan semesta makhluk.

Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan betapa gerak merupakan sunnatullah pada ciptaan-Nya, sebagaimana yang telah saya kutip di awal. Bahwa Dialah yang menciptakan siang dan malam, matahari dan bulan. Ayat itu ditutup dengan kullun fii falakin yasbahuun. Ada kata falak dan yasbahuum di akhir ayat tersebut. Ada kata gerak dan poros. Seluruh makhluk bergerak, termasuk galaksi-galaksi, matahari, bintang-bintang, dan bulan. Seluruhnya yasbahuun, bergerak tetapi dalam porosnya. Ayat serupa juga ada dalam surat Yasin ayat 40:

لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۚ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ

“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Ada keseimbangan antara keharusan bergerak dan keharusan tetap terikat pada porosnya.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…

Alhamdulillah, kita termasuk orang-orang yang sudah komitmen terhadap suatu gerak dan insya Allah mempunyai poros. Sebab bila sekedar gerak, tidak akan produktif dan juga tidak jelas maknanya.

Umat Islam—bukan hanya di Indonesia—melainkan juga di hampir seluruh belahan dunia, mengalami masa siklus menurun, sehingga kehidupan umat tidak mempunyai kejelasan gerak. Bahkan lawan-lawan Islam menuduh: “Umat Islam reaksioner”. Oleh karena itu, kita harus bisa membedakan antara kata “aksi”dan “reaksi”. Bila “aksi” itu merupakan al-ashl (pokok), maka “reaksi” adalah rantingnya. Reaksi dalam bahasa Arabnya raddul fi’il atau rududul fi’il yang biasanya tidak terencana. Banyak sekali kasus yang merugikan kehidupan umat Islam, baik di sektor politik, ekonomi, budaya, sosial dan bahkan akidah serta fikrah, yang hanya direspon dengan sebuah reaksi, dan bukan dengan aksi. Padahal reaksi biasanya hanya berupa kejutan-kejutan spontanitas yang tidak jelas arahnya. Hal itu merupakan kondisi umat Islam di seluruh dunia.

Oleh karena itu, kita sebagai kader-kader dakwah tidak boleh reaksioner, dan sebaliknya harus melakukan aksi secara terus-menerus. Provokasi-provokasi, ancaman-ancaman, dan pancingan-pancingan tidak selalu harus kita respon, karena reaksi hanya boleh dilakukan bila sesuai dengan kebutuhan dan dengan mempertimbangkan apakah reaksi itu menguntungkan Islam wal muslimin atau tidak. Apakah reaksi itu akan menguntungkan dakwah dan jama’ah atau tidak? Hal itu harus dihitung dengan cermat. Berbeda halnya bila berupa aksi, karena kita justeru harus terus menerus bergerak melakukan aksi, dan tanpa aksi kondisi umat akan jumud atau statis. Kondisi jumud atau statis dalam bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, atau keagamaan, secara sunnatullah akan mengarah kepada pembusukan.

Bila ada air yang tergenang di suatu kolam atau bejana, tanpa sirkulasi atau gerak; tidak mengalir, maka akan terjadi pembusukan akibat polutan yang tidak tersirkulasi. Lautan sudah jutaan tahun menjadi tempat tumpahan polutan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Polutan yang menumpuk tidak pernah membuat laut menjadi busuk, karena air laut selalu bergerak, ombaknya selalu berdebur, dan menerpa pantai serta batu karang. Polutan-polutan yang tumpah ke laut pun lalu mengendap ke dasar laut, ternetralisir dan bahkan menjadi plankton-plankton yang merupakan makanan ikan, sehingga yang tadinya berbahaya menjadi bermanfaat karena adanya gerak.

Sebagai jama’ah dakwah dan sebagai gerakan Islam, kita pun mengikuti dan berusaha agar selaras dengan sunnatullah dan sunnah kauniyah, yakni bergerak dan terus bergerak. Tentu saja secara fiqhul lughoh atau filosofi bahasa, gerak yang dimaksud bukan sekedar harakah, tapi harus menjadi aksi (fi’il). Gerak akan menjadi suatu tindakan dan kemudian menjadi amal. Agar hal itu tercapai harus memenuhi tiga syarat, yakni: syarat pertama, mahsub, yakni terukur karena diperhitungkan atau direncanakan. Kedua, teratur, murattabun. Ukuran, bentuk, dan dimensinya harus jelas patokannya dan jelas porsinya (teratur). Ketiga, harus terstruktur, munazhamun.

Ketika syarat tersebut diibaratkan oleh para ulama lughoh seperti untaian tasbih. Untaian tasbih terdiri dari biji-biji yang mahsub, yakni berukuran sama, kemudian murattab, teratur, yakni 33 buah, dan akhirnya munazhzham atau terangkai. Dalam bahasa Arab, benang yang mengikat untaian tasbih disebut nizhaam. Dengan nizhaam itulah akan ada munazhzham, keterikatan. Gerak yang tidak terukur (mahsub) dan tidak teratur (murattab) serta tidak munazham (terangkai) tidak akan menjadi amal produktif.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…

Hal ini adalah sunnatullahnya sunnah kauniyah dan tidak ada satu makhluk pun yang bisa melepaskan diri dari ketentuan Allah tersebut, karena merupakan fitrah yang bersikap muhkamah (kokoh). Bila kita keluar dari tuntunan fitrah, maka kita akan rusak. Demikian pula makhluk Allah yang manapun yang terlepasi kefitrahannya, akan rusak. Oleh karena itu sebagai harakah kita harus menjadi dinamisator agar kehidupan ini tidak statis atau jumud, yang menyebabkan pembusukan kehidupan manusia. Kita harus berusaha menetralisirnya dengan gerak kita yang terus menerus, sehingga terjadi recycling kehidupan, perputaran kehidupan yang terus menerus. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa posisi manusia dalam kehidupannya selalu berputar,

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’ dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (Q.S. Ali Imran: 140)

Diputar terus oleh Allah SWT agar dinamis dan hal itu berlaku pula bagi organisasi, jama’ah, bangsa, agama, atau umat apapun. Jika terjadi kebekuan, statis, dan kosong, maka pasti terjadi pembusukan. Sunnah kauniyah tersebut hukumnya berlalu untuk semua. Oleh karena itu, menjadi kewajiban dan keniscayaan bagi kita untuk selalu bergerak dengan gerak yang terukur, teratur, dan terstruktur.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…

Saya simpulkan kembali bahwa aksi adalah gerak utama jama’ah kita dan bukan reaksi, sehingga boleh jadi ada manuver-manuver orang lain yang tidak perlu kita respon. Sebaliknya kita harus melancarkan aksi, bergerak, berbuat dan beramal secara terus-menerus. Sebab bila kita—na’udzubillah—hanya bersifat responsif, maka akan mudah dijerumuskan oleh provokasi, pancingan, hasutan, dan ajakan-ajakan yang tidak jelas. Sebaliknya bila gerak kita disiplin terhadap standar keterukuran, keteraturan dan keterstrukturan, maka insya Allah kita dapat menjaga konsistensi.

Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah…

Demikianlah hal-hal yang sangat mendasar yang ingin saya sampaikan dan hal tersebut di atas juga bisa menjadi bahan evaluasi kita. Apakah kita ini dinamis atau tidak? Apakah kita hanya disibukkan dengan reaksi-reaksi yang responsif? Padahal seharusnya kita mempunyai aksi-aksi yang jelas disegala bidang, baik di bidang politik, ekonomi maupun budaya, untuk menyelesaikan problematika di segala bidang. Sehingga produktifitasnya jelas, sasarannya jelas dan hasil-hasilnya juga jelas bisa dinikmati oleh semua sesuai dengan konsep rahmatan lil ‘alamin.***