Pola ini mampu menghadirkan suasana kebatinan yang mengikat emosional antara pemilih dengan kandidat yang dipilih dengan prinsip senasib seperjuangan dan harga diri (marwah) golongan/kelompok. Tak urung, semangat primordial dimanfaatkan atau dikonversi menjadi bagian strategi politik untuk memenangkan kontestasi perebutan kekuasaan.
Politik primordial berpotensi menguat, laris dan berkembang terutama di daerah dengan latar belakang sosiologi terdapat dua atau lebih golongan/etnis yang sama-sama merasa dominan atau berhak atas wilayah tersebut, baik itu klaim sebagai pribumi, klaim jasa dalam sejarah, tak luput pula sama-sama mendominasi kekuatan ekonomi.
Menurut Mohtar Haboddin dalam bukunya yang berjudul “Politik Primordialisme dalam Pemilu Indonesia” faktor yang mempengaruhi politik primordial tidak bisa dilepaskan dengan pertama, politik desentralisasi. Praktik politik desentralisasi telah mengubah lokus kajian bagi sebagian peminat politik dan pemerintah untuk lebih mendalami kembali hadirnya fenomena etnisitas, kedaerahan, kesultanan dan adat dalam panggung politik.
Kedua, pemanfaatan simbol-simbol primordialisme justru menguat seiring dengan proses liberalisasi politik yang ditandai kehadiran sistem politik multipartai dan implementasi sistem pemilihan langsung dengan mengedepankan suara terbanyak dalam pemilu.
Dalam buku tersebut Mohtar Haboddin juga menyebutkan dengan mengentalnya semangat primordialisme dalam politik merupakan gambaran riil dunia perpolitikan masih tergolong “primitif dan tradisional”.
Disebutkan demikian karena aktor politik sibuk mengaktifkan sentimen-sentimen primordial tinimbang konsen mengedukasi masyarakat pada isu/tema yang menjadi fungsi dari pembangunan politik seperti aspek sosial ekonomi, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya.
Ancaman dan Tantangan
Dalam demokrasi praktik primordialisme politik secara eksplisit dilarang untuk dimanfaatkan sebagai intrik politik demi meraih kekuasaan, prakteknya diperkuat dengan kampanye yang selalu digalakkan KPU dan Bawaslu dalam bentuk aturan pelarangan menggunakan politik identitas dan isu SARA pada proses pemilu.
Meskipun faktanya entah sengaja atau tidak politik primordial sulit dihilangkan secara total, contohnya penggunaan accessories, simbol-simbol adat hingga ajakan memilih atas dasar identitas, walau tidak vulgar di ruang publik.
Hal tersebut bertentangan dengan ruh demokrasi yang hakikatnya merupakan pertarungan ide dan gagasan dalam mengurai serta mengatasi masalah pembangunan. Analoginya, Mereka yang berhak berkuasa dalam demokrasi adalah mereka yang memiliki prestasi dan pemikiran brilian, bukan mereka yang berasal dari strata maupun etnisitas tertentu.
Menguatnya semangat primordial di benak masyarakat kemudian diimplementasikan sebagai sikap politik secara otomatis mengabaikan nalar/logika terhadap visi misi (problem solving) yang ditawarkan para kontestan politik.
Selanjutnya, ekspresi dari politik primordialisme yaitu munculnya politik kekerabatan atau dinasti politik dalam mengisi jabatan publik, disebut demikian karena politik kekerabatan melakukan praktek pendistribusian kekuasaan diantara para anggota keluarga sedarah.
Politik kekerabatan juga menjadi pemicu lahirnya perilaku nepotisme dan kolusi dalam pengisian jabatan legislatif maupun birokrasi, setelah menguasai politik bukan tidak mungkin fase berikutnya mencengkram sektor ekonomi karena adanya kemudahan akses.
Akhirnya tercipta imperium politik dalam pemerintahan dan demokrasi menjadi ruang eksklusif yang hanya bisa diakses oleh golongan/kelompok tertentu. Jika semakin dipertajam, politik primordial berpotensi mengancam stabilitas keamanan, dapat menyebabkan konflik horizontal ditengah masyarakat yang berujung pada rusaknya keutuhan bangsa.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengurangi frekuensi politik primordial dengan mengkampanyekan politik gagasan yang edukatif atas isu-isu politik terkini yang menjadi masalah kehidupan sosial masyarakat. Dan mengorkestrasi volume politik primordial agar tetap berdampak positif untuk kemajuan bersama dan eksistensi bangsa, jangan sampai semangat primordial digunakan untuk memecah belah sesama anak bangsa.
Kita akui semangat primordial berperan penting dalam mempertahankan eksistensi budaya lokal namun tetap satu tujuan untuk memperkokoh bangunan kebangsaan dalam wadah politik NKRI, demi menjaga kedaulatan bangsa dan ketahanan nasional.
Karena tantangan di era globalisasi ini, bagaimana menjaga kedaulatan bangsa dari perebutan kepentingan-kepentingan negara asing yang ingin menancapkan hegemoni politiknya dengan memanfaatkan lemahnya identitas dan persatuan nasional melalui politik adu domba dan lain-lain.
Perlunya Menciptakan Kebanggaan Sebagai Bangsa
Kebanggaan sebagai bangsa dapat tercipta ketika identitas nasional menguat, salah satu bentuk perwujudannya jika pemimpin yang lahir dari proses politik adalah mereka yang memiliki jiwa “negarawan” sejati. Dalam arti mampu berdiri diatas semua golongan masyarakat dan merasakan suasana kebatinan masyarakat kemudian mengolah rasa tersebut dalam wujud pembangunan yang berkeadilan dan merata.
Wujud yang paling nyata adalah pemenuhan atas hak-hak warga negara di bidang administrasi sipil, politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Misalnya, kemudahan memperoleh jaminan kesehatan, kemudahan menyekolahkan anak, kemudahan dan kelancaran transportasi.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang merata hingga proses peradilan yang objektif, transparan, adil dilandasi semangat kebangsaan yang tinggi dapat menimbulkan kebanggaan dan ikatan emosi yang mendalam terhadap identitas nasional kita.***